Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu. Halo pengunjung, saat ini yang lagi viral buat kamu, mungkin sajian kali ini akan menjadi sharing populer jaman sekarang. Maka dari itu jangan sampai ketinggalan informasi teruslah berkunjung kesini untuk mendapatkan info lainnya.
Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu. Kamu pantas sering belajar kepada mendapatkan banyak pengetahuan. Disini mau berbagi kepada kalian yang suka sambil berita terkini, semoga bisa menjadikan kamu mendapatkan pilihan jempolan intern membaca share terbaru.. . Ahad pagi kemarin aku jalan-jalan pagi bersama kedua orang tuaku. Mudah-mudahan badan sehat, hati pun sehat. Refreshing pun sih, selama ini jadwal padet sampai tak makin waktu alokasi atau bisa juga dikatakan kepada diri sendiri, tak makin waktu alokasi atau bisa juga dikatakan kepada mendekat pada kekasihku. Jadinya kena futur nich. Mudah-mudahan dgn jalan-jalan, refreshing, liat dunia luar, jadi makin dekat lagi yang dengannya yng tercinta serta penyakit futurnya segera hilang
Berjalan kira-kira 1 km ke haluan utara, pas kira-kira sawah-sawah, bapak ngajak alokasi atau bisa juga dikatakan kepada masuk, lihat sawah. Ok deh, lama pun gak maen ke sawah. Yang terakhir kelihatannya kira-kira 5 tahun lalu disaat masih ngerjain skripsi, maen ke sawah pakdhe dekat rumah mbah. Masuk area sawah masih cukup sepi. Rumput di sepanjang pematang yng kami lewati masih basah oleh embun serta sisa hujan kemarin. Tanahnya pun basah atau juga ‘jeblok’. Lewat empat petak sawah, kami berjumpa yang dengannya separuh petani yng sedang memanen padi. ‘derep’ istilahnya. Padi telah dipotong hari sebelumnya, bakal tetapi dirontokin bulir padinya hari itu. Kulihat sawah yng hendak dipanen ibu-ibu tadi dari kejauhan. Orang-orang telah tiba. Cara orang-orang masih tradisional, belum mempergunakan engine perontok padi. Orang-orang yang dengannya semangat ‘nggebuk’(memukul) padi, batang-batang padi orang-orang pukulkan ke sebuah papan agar rontok bulir-bulir padinya. Melihat kerja keras orang-orang, aku cuma tersenyum, bahagia. Maju kira-kira tiga petak ke depan, kami menjumpai seorang kakek yang dengannya cucu-cucunya di areal tanaman padinya yng belum tua. Orang-orang sedang ‘ngesat’ atau juga mengeringkan. Air yng ada di areal sawah dialirkan keluar menjadikan sawah tak lagi semisal kolam, tinggal tanaman padi. Proses ini di lakukan era padi tiba berisi, begitu kalo tak salah penjelasan bapak. Si kakek tadi mengajak cucu-cucunya, lantaran di sawah itu ia memelihara ikan. Era ‘ngesat’ semisal ini, ikan-ikannya diambil. Orang-orang belepotan lumpur, menangkapi ikan di sawah. Gokil, kayaknya asyik banget J (klo gak lagi bareng bapak ibu, pasti pengin ikut. Hehehe… :-P) Beberapa petak di depannya, lantas kami belok kiri, ke haluan sawah kakek. Yng bagian bawah sedang ditanami padi oleh budheku, yng atasnya pertama kali disiapkan alokasi atau bisa juga dikatakan kepada tanaman cabe oleh kerabat yng lain. Kami berjalan ke pojok, sampai daerah ‘uritan’. Disebut bergitu kelihatannya lantaran bentuknya yng kecil memanjang di sela dua sirkulasi ‘kalen’ (semacam kali ataupun selokan kecil alokasi atau bisa juga dikatakan kepada pengairan) semisal buritan kapal. Sepanjang perjalanan kami, bapak ibuku yng memanglah berlatar belakang petani, bercerita tak secuil hal, wacana masa kecil orang-orang di lahan pertanian, wacana masa tanam padi, bagaimana dulu ikut jadi buruh era memanen padi alokasi atau bisa juga dikatakan kepada membantu orang tua, bagaimana orang-orang Amat memandang sebulir nasi (lantaran orang-orang tak selalu mampu makan nasi beras, ada kalanya cukup nasi jagung ataupun aapa seadanya). Tidak secuil hal, tak secuil cerita yng kudapat. Puas dari sana, kami kembali menyusuri pematang yng tadi. Di tempat kakek tadi, cucunya sedang beristirahat, si kakek pun saling menyapa serta bercerita yang dengannya bapak. Dia bercerita padinya yng tak makin berisi atau juga ‘gabuk’. Yang dengannya senyum di wajahnya ia mengabarkan, “Nggeh, sakdermo nampi. Pun diatur Sing Kuwaos. Sing penting pun setiyar (maksudnya ikhtiar-pen), nggeh to?” (Ya, sekedar nerima. Telah diatur oleh Yng Kuasa. Yng penting telah ikhtiar, ya kan?” Subhanallah… beliau mengabarkan tak sedang mengeluh, lihatlah senyumnya yng mengembang, bahagia rasanya melihatnya, sebuah ekspresi rasa tulus. Subhanallah…. Sepanjang perjalanan pulang aku cuma merenung. Aku, pun kelihatannya tak secuil orang yng berprofesi menjdai karyawan, di mana mendapatkan penghasilan rutin setiap bulan yang dengannya nominal tetap, Suka tak ingat bahwasanya rezeki telah diatur oleh Allah, tak banyak tak secuil, itu merupakan karunia dari Allah, kepada kebaikan Allah, bukan lantaran kerja keras kita yng kelihatannya sebetulnya belum keras bekerja. Semisal hujan yng turun dari langit, semisal pohon serta tumbuhan yng ditumbuhkan Allah, semisal bunga yng menjelma buah, lantas makin besar, berganti warna serta rasa menjelma sesuatu yng lezat alokasi atau bisa juga dikatakan kepada kita nikmati. Seharusnya aku belajar dari petani, sukses ataupun tak tanamannya di sawah, diterima yang dengannya senang hati menjdai karunia. Tak ada keluhan, tak ada berharap terlalu tinggi. Astaghfirullahal ‘adhiim…ampuni kami yng tak pandai bersyukur, ampuni kami yng kadang masih terbersit rasa sombong di hati, ampuni kami yng Suka tak ingat bakal kebesaran serta nikmatMu yng takterhingga. Ini kelihatannya salah tarbiyah yng Allah berikan padaku yng Suka tak makin bersyukur, yng tak makin tulus intern segala hal, jadi terkesan munafik. Ah, terima beri ya Allah, Engkau sudah mengingatkanku. Sumber : https://ryu1nayumi.wordpress.com/2013/03/18/belajar-ikhlas-dari-petani/ Sponsored Links loading... Loading... .
Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com